Isu keterputusan antara Islam dan
ilmu pengetahuan kembali mengemuka dalam forum NGALAM (Ngaji Malam) yang
diselenggarakan oleh Komunitas Literat Muda pada 6 Juli 2025 pukul 19.00 WIB
dengan tema: “Tafsir al-Tsaqafiy: Paradigma Baru Tafsir Ilmiah-Integratif
dan Implikasinya bagi Pengembangan Keilmuan di Perguruan Tinggi Islam”.
Dengan narasumber ahli dalam bidang Ilmu Al-Qu’an dan Tafsir yaitu Prof. Dr.
M. Fauzan Zenrif, M.Ag. Dalam forum daring ini, Prof. Dr. M. Fauzan Zenrif,
M.Ag., menggarisbawahi kegentingan hilangnya nilai-nilai Islam dalam
pengembangan keilmuan modern, terutama di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Kondisi
tersebut, menurutnya, tampak nyata dalam contoh konkret seperti teknologi
nuklir yang di satu sisi menawarkan manfaat besar bagi pertanian, namun di sisi
lain memiliki potensi destruktif yang memusnahkan umat manusia. Ketika ilmu
dilepaskan dari nilai etis dan spiritualitas Islam, maka bahaya justru semakin
dekat. Di sinilah integrasi antara Islam dan ilmu pengetahuan dinilai sebagai agenda
mendesak bagi institusi keilmuan berbasis keislaman seperti Universitas Islam
Negeri (UIN).
Kritik terhadap sistem keilmuan ini
kemudian menjalar pada bidang studi Al-Qur’an. Pembagian tafsir yang selama ini
bersifat tematik, kronologis, atau bercorak klasik-modern dinilai tidak lagi
memadai. Menurut Prof. Zenrif, pembacaan Al-Qur’an seharusnya diklasifikasikan
berdasarkan paradigma epistemologisnya, apakah sufistik, filosofis,
fenomenologis, atau hermeneutik. Dengan pendekatan seperti itu, Al-Qur’an tidak
hanya menjadi teks yang dibaca, tetapi juga dijadikan alat kritis untuk
membedah realitas.
Paradigma tafsir yang dianggap
menjanjikan dalam hal ini adalah tafsir al-tsaqafiy. Tafsir ini hadir
sebagai respons atas kesenjangan antara teks wahyu dan konteks sosial budaya
umat Islam hari ini. Pendekatan ini tidak hanya mengajak untuk memahami makna
ayat secara historis, tetapi juga bagaimana nilai-nilainya hidup dan bekerja
dalam kebudayaan lokal. Dalam hal ini, nilai Al-Qur’an dipahami melalui
perilaku Masyarakat bagaimana ia dipraktikkan, dipahami, dan disalahgunakan. Sebagai
contoh, fenomena justifikasi terhadap akumulasi kekayaan pribadi atas nama
“bisnis Islami” menunjukkan bagaimana nilai-nilai Qurani telah diselewengkan.
Dalam tafsir tsaqafiy, relasi antara wahyu dan budaya harus dikritisi
agar tidak terjadi pembajakan makna oleh kepentingan pasar. Oleh karena itu,
tafsir ini tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga fungsional yakni
memeriksa bagaimana makna diproduksi dan dipraktikkan.
Kebutuhan untuk menjembatani teks
dan realitas inilah yang kemudian memunculkan gagasan tentang metode tafsir
yang bersifat interdisipliner. Tafsir tidak bisa berdiri sendiri dalam ruang
hampa, ia harus berbicara dengan ilmu sosial, psikologi, bahkan sains.
Pendekatan ini memerlukan keberanian institusi untuk melakukan reformasi
kurikulum dengan cara menyusun mata kuliah berbasis tema dan kolaboratif lintas
prodi, agar tafsir Al-Qur’an menjadi kajian yang hidup, relevan, dan solutif.
Dalam pengalaman penulis bahwa tafsir al-Tsaqafiy ini menjadi kebutuhan
penting dalam integrasi antara Agama dan berbagai disiplin ilmu khususnya sains
melalui ayat-ayat Al-Qur’an, yang menjadikan peningkatan kualitas intelektual
cendikiawan muslim Indonesia dalam kontribusinya terhadap kebermanfaatan bagi
umat dan bangsa.
Implikasi dari pendekatan tersebut
sangat terasa dalam tugas akhir mahasiswa, baik dalam bentuk skripsi maupun
tesis. Prof. Zenrif menekankan pentingnya riset lapangan dan studi
interdisipliner. Mahasiswa tidak lagi cukup hanya menafsirkan teks secara
normatif, tetapi juga dituntut untuk turun ke masyarakat, membaca gejala
sosial, dan mengintegrasikannya dalam proyek keilmuan yang Islami.
Salah satu aspek menarik dari
diskusi ini adalah bagaimana tafsir tsaqafiy dibandingkan dengan
pendekatan living Qur’an. Ketika ditanya soal perbedaannya, Prof. Zenrif
menjelaskan bahwa tafsir tsaqafiy justru dapat dianggap sebagai
pendalaman dari konsep living Qur’an. Jika living Qur’an melihat praktik
masyarakat terhadap ayat suci, maka tafsir tsaqafiy mendorong adanya
refleksi kritis dan pengembangan komunitas dari praktik tersebut. Pengakuan
terhadap subjektivitas lokal dalam penafsiran tentu mengundang pertanyaan
tentang validitas universal dari Al-Qur’an. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa
subjektivitas tidak selalu berbahaya bila dikawal dengan prinsip intersubjektivitas
yakni kesepakatan nilai yang dibangun secara kolektif. Dalam tafsir tsaqafiy,
inilah yang didekati sebagai bentuk baru dari ijma, bukan sekadar konsensus
ulama, melainkan konsensus sosial yang berkembang.
Lebih lanjut, forum juga menyentuh
topik seperti studi gender dan feminisme. Ditegaskan bahwa tafsir tsaqafiy
sangat terbuka terhadap pembacaan kritis terhadap ayat-ayat kontroversial,
termasuk isu kekerasan dalam rumah tangga. Penjelasan tentang ayat pemukulan
terhadap perempuan, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari konteks asbabun
nuzul-nya. Tafsir tsaqafiy menolak pembacaan tekstual yang membenarkan
kekerasan, dan justru mengajukan pembacaan kontekstual yang manusiawi. Keterbukaan
terhadap feminisme ini, menurut Prof. Zenrif, harus tetap berlandaskan pada
semangat Qurani. Ia menilai bahwa banyak pemikir feminis Barat mengalami trauma
historis terhadap institusi agama, sehingga muncul sikap resistensi. Dalam
konteks Islam, resistensi seperti ini tidak perlu dimusuhi, tetapi dikaji ulang
dengan pendekatan yang lebih adil dan kontekstual.
Pertanyaan lain menyasar pada posisi
tafsir tsaqafiy dalam metodologi penelitian. Di sini dijelaskan bahwa
tafsir ini lebih tepat diposisikan sebagai paradigma. Ia berfungsi sebagai
kerangka pikir yang mendasari analisis, bukan sekadar teknik pembacaan. Oleh
sebab itu, ia sangat kompatibel dengan pendekatan seperti Participatory
Action Research (PAR) atau Asset-Based Community Development (ABCD) selama
tetap berpijak pada semangat keislaman yang membumi.
Tafsir
tsaqafiy, dalam konteks ini, dapat diarahkan ke isu-isu besar seperti
ekonomi, politik, dan sosial yang bersinggungan langsung dengan realitas
masyarakat. Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) pun disarankan agar
diarahkan untuk mengeksplorasi tafsir dalam konteks dinamika sosial, bukan
hanya sebagai produk litererat.
Forum ditutup
dengan pernyataan reflektif oleh Prof. Dr. M. Fauzan Zenrif, M.Ag.: “tafsir
bukan sekadar mencari arti kata atau makna ayat, tetapi bagaimana makna
tersebut hidup, diterjemahkan dalam tindakan, dan menjawab persoalan zaman.”
Dalam realitas disrupsi hari ini, pertarungan ideologi dan nilai tidak bisa
dihindari. Maka, yang diperlukan bukan tafsir yang kaku, melainkan tafsir yang
mampu beradaptasi tanpa kehilangan substansi. Tafsir yang tidak hanya
menjelaskan, tetapi menggerakkan. Wallahu A’lam