Pedoman Penegak Keadilan dalam QS. An-Nisa: 135 dan QS. Al-Maidah: 8


Oleh: Feby Audina Fadia

Al-Qur'an merupakan panduan bagi umat Muslim dalam menjalankan kehidupan. Tak terkecuali dalam  menjalankan sistem hukum yang berdasarkan ajaran Islam. Ayat-ayat penegak hukum memberikan dasar-dasar prinsipiel yang harus dipegang teguh dalam menegakkan hukum, seperti keadilan, kesetaraan, kebebasan dan keberlanjutan. Al-Qur'an telah mengatur bagaimana keadilan ditegakkan di kala kondisi umat terdahulu yang minim akan peraturan Islam. Beberapa surah yang menjelaskan hal tersebut di antaranya Surah An-Nisa' [4]: 135 dan Surah Al-Maidah ayat [5]: 8.

An-Nisa [4]: 135

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ بِٱلْقِسْطِ شُهَدَآءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰٓ أَنفُسِكُمْ أَوِ ٱلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ ۚ إِن يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَٱللَّهُ أَوْلَىٰ بِهِمَا ۖ فَلَا تَتَّبِعُوا۟ ٱلْهَوَىٰٓ أَن تَعْدِلُوا۟ ۚ وَإِن تَلْوُۥٓا۟ أَوْ تُعْرِضُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”

Dalam hadis riwayat Ibn Ḥātim, terdapat latar belakang turunnya ayat ini. Kisahnya adalah saat seorang kaya dan seorang fakir yang sedang bersengketa mendatangi Rasulullah SAW. Beliau memberikan dukungan lebih kepada orang fakir, karena keyakinannya bahwa seorang fakir tidak akan berani semena-mena pada orang kaya. Allah menegur Rasulullah atas sikapnya melalui Surah An-Nisa [4]: 135. Ayat ini secara umum menjelaskan pentingnya menjadi penegak keadilan dengan seluruh hati dalam mengambil keputusan adil tanpa memihak kepada siapa pun selain kebenaran.

“Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” Menurut penafsiran Sayyid Quṭb, penegak keadilan harus bertindak berdasarkan pertimbangan karena Allah. Bukan berpatokan pada kepentingan seseorang di pihak menang atau salah, kepentingan pribadi, kelompok atau umat, dan tidak tergoda oleh kondisi dalam elemen-elemen peradilan. “Biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu…” Hal ini merupakan ujian bagi manusia terkhusus penegak keadilan yang  harus merasakan pahitnya dalam diri kejahatan.

“...Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya...” Apabila seseorang menjadi saksi orang fakir, maka timbul kasih sayang. Sehingga memberikan kesaksian yang benar terhadapnya karena kasihan kepadanya. Begitu pun sebaliknya, apabila menjadi saksi atas orang kaya, maka sistem sosial menghendaki supaya berbaik-baikan dengannya, untuk dapat meringankannya. Adakalanya pun kekayaan dan kesombongannya mendorong jiwanya untuk melakukan kesaksian yang sebaliknya. Hal tersebut lah perasaan-perasaan instingtif atau tuntutan sosial yang merupakan beban berat ketika dihadapi manusia dalam kenyataan.

“....Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran....” Berbagai macam jenis hawa nafsu ada yang meliputi bangga diri berlebih, fanatik pada keluarga, sahabat, terhadap orang fakir saat bersaksi dan suatu kelompok, memberi kemudahan atau kesulitan kepada orang kaya, serta membenci musuh walau seagama. Segala jenis hawa nafsu tersebut dilarang oleh Allah, agar orang-orang yang beriman tidak terpengaruh olehnya sehingga tidak berpaling dari kebenaran dan kejujuran. Akhirnya datanglah teguran agar tidak memutarbalikkan kesaksian atau berpaling dari petunjuk ini, pada penggalan ayat berikut “....Jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa'/4 : 135).

Al-Maidah [5]: 8

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُونُوا۟ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ بِٱلْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ ۚ ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwa lah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini memiliki kesamaan dengan surah An-Nisa' (4:135) dalam hal penjelasan mengenai pentingnya berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Namun, terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu pada ayat sebelumnya menekankan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian meskipun hal tersebut merugikan diri sendiri, ibu, bapak, dan kerabat, sedangkan dalam ayat ini dijelaskan bahwa kebencian terhadap suatu kelompok tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, bahkan terhadap lawan sekalipun.

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil...” Terkait kebencian yang menghalangi seseorang berlaku adil, Buya Hamka menafsirkannya dengan permisalan. Apabila seseorang yang akan menjadi subjek kesaksian pernah melakukan sesuatu yang menyakiti hatimu, jangan biarkan kebencianmu mendorongmu untuk memberikan kesaksian palsu hanya untuk membalas rasa sakitmu kepadanya. Kebenaran akan tetap abadi, sedangkan rasa benci hanya lah perasaan yang bukan bawaan asli dari jiwa, tetapi hanya merupakan dorongan dan hawa nafsu yang pada suatu waktu akan mereda.

“Berlaku adil lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa…” Dalam penafsirannya, Buya Hamka menjelaskan bahwa keadilan adalah pintu yang paling dekat untuk mencapai takwa, sedangkan rasa benci akan menjauhkan seseorang dari Tuhan. Ketika mampu menjunjung tinggi keadilan, jiwa sendiri akan merasakan kemenangan yang tak tertandingi, dan akan meningkatkan martabat diri di hadapan manusia dan di hadapan Allah. Lawan dari keadilan adalah kezaliman, salah satu bentuk puncak kemaksiatan terhadap Allah. Kemaksiatan akan menyebabkan jiwa merasakan kehancuran dan keputusasaan sehingga menyebabkan penguasa tidak adil. Akhirnya berakibat pada kekuasaan dan keagungan umat hilang serta musuh dengan mudah masuk merebut kemerdekaan.

Previous Post Next Post

Contact Form