Oleh: Abdullah
Di tengah derasnya arus digital dan maraknya media
sosial, perbedaan kerap dibingkai sebagai ancaman. Sejumlah konten kreator
dengan berbagai motif tak segan memantik api perpecahan, mulai dari isu teologi
hingga perdebatan soal tradisi. Fenomena ini mencerminkan krisis dalam memaknai
perbedaan: apakah perbedaan adalah ancaman, atau justru keniscayaan yang perlu
dihargai? Minimnya literasi dan tingginya fanatisme menjadi penyebab utama
mengapa sebagian kalangan sulit menghargai pandangan berbeda. Dalam konteks
inilah, Komunitas Literat Muda (KLM) menginisiasi kegiatan Ngaji Malam
perdana secara daring, bertajuk “Membaca Kesadaran Kolektif Umat: Membaca
Pemikiran Maqashid Ibnu Asyur”, yang dibimbing langsung oleh Achmad Syariful
Afif, M.Ag. Kajian ini diharapkan menjadi ruang dialog dan solusi atas
keretakan akibat kesalahpahaman terhadap makna perbedaan dalam Islam.
Muhammad Thahir bin Asyur atau lebih dikenal sebagai
Ibnu Asyur lahir di Tunisia pada 12 Agustus 1879. Ia adalah mufasir, mufti
besar, dan reformis pemikiran Islam yang berperan besar dalam menghidupkan
kembali pendekatan Maqāṣid al-Syari‘ah secara lebih menyeluruh. Ibnu Asyur
mengkritik pendekatan Maqāṣid sebelumnya yang dinilai terlalu fokus pada
syariat dan minim sentuhan sosial. Menurutnya, tujuan syariat Islam bukan hanya
untuk mengatur ibadah dan hukum, tetapi juga harus berperan aktif dalam
membangun masyarakat . Pemikirannya berporos pada lima prinsip utama yaitu Fitrah
(keselarasan ajaran dengan sifat dasar manusia), Samāhah (toleransi), Maṣlaḥah
(kemaslahatan bersama), Musāwah (kesetaraan antarmanusia), Ḥurriyyah (kebebasan
yang bertanggung jawab). Melalui prinsip-prinsip ini, Ibnu Asyur meracik ulang
Maqāṣid agar lebih selaras dengan misi utama Al-Qur’an: membangun peradaban
manusia yang berkeadilan dan penuh rahmat.
Salah satu fokus pemikiran Ibnu Asyur yang
didiskusikan dalam kajian KLM adalah upaya menyatukan umat tanpa menafikan
perbedaan. Ia menolak gagasan bahwa kesatuan umat berarti keseragaman dalam
keyakinan atau praktik. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa perbedaan adalah bagian
dari sunnatullah—sebuah keniscayaan yang harus dikelola, bukan dilawan.
Pandangannya ini berpijak pada surah al-Ma’idah ayat 48 sebagai berikut:
وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً
وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ اِلَى
اللّٰهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيْهِ
تَخْتَلِفُوْنَۙ
Seandainya
Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja). Akan tetapi,
Allah hendak mengujimu tentang karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu.
Maka, berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah kamu semua
kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang selama ini kamu
perselisihkan.
Ayat ini menegaskan bahwa perbedaan adalah sarana
ujian dan peluang untuk berlomba dalam kebajikan. Bandingkan dengan Surah Āli
‘Imrān ayat 103, Ibnu Asyur menanggapi bahwa konsep kesatuan yang ditawarkan pada Ali Imran ayat 103 ialah kesatuan kepercayaan, kebenaran dan kebaikan, oleh karenanya dalam urusan ini tidak ada yang namanya perbedaan. Bagi Ibnu Asyur, dua ayat ini tidak kontradiktif: yang satu menekankan
kesatuan nilai dan akidah, yang lain mengakui perbedaan dalam ranah sosial dan
pemikiran.
Sedangkan dalam surat al-Ma’idah ayat 48 kesatuan yang dimaksud lebih kepada kesatuan pemikiran. Dalam ayat ini Ibnu Asyur menganggap bahwa perbedaan pemikiran merupakan fitrah setiap manusia dan merupakan kehendak
tuhan agar dengan segala perbedaan itu manusia dapat berlomba-lomba dalam kebaikan melalui
jalan yang telah mereka pilih, serta dengan adanya perbedaan
manusia dapat belajar untuk menghargai dan tidak mudah memecah
belah kesatuan umat hanya karena
tak sejalan dengan kehendaknya.
Pemikiran Ibnu Asyur menawarkan arah baru bagi umat Islam
untuk memahami dan mengelola perbedaan. Kesatuan umat tidak terletak pada
seragamnya pemikiran, tetapi pada kesadaran kolektif untuk menjunjung nilai
keadilan, kebaikan, dan kemaslahatan bersama. Melalui inisiatif seperti kajian “Ngaji Malam” ini, KLM turut membangun
narasi alternatif: bahwa perbedaan tidak harus menjadi sumber konflik, tetapi
justru bisa menjadi pijakan kolaborasi untuk membangun masyarakat yang lebih
bijak, damai, dan berdaya.