Membaca Dunia Barat: Mengenal Perkembangan Literasi Keislaman di Belanda

 

Oleh: Sakila Lu'luil Maknun

Ketika berbicara tentang literasi keislaman, pikiran kita biasanya langsung tertuju pada dunia Timur Tengah seperti Mesir, Turki, atau Arab Saudi. Namun, jika pandangan digeser ke Barat, khususnya Belanda, kita akan menemukan sejarah panjang yang tidak kalah menarik. Negara kecil di Eropa ini sudah menaruh perhatian pada kajian Islam sejak abad ke-16, bahkan hingga kini tetap menjadi salah satu pusat studi Islam paling berpengaruh. Banyak sarjana Indonesia juga pernah menimba ilmu di sana, sebut saja Prof. Latif Fauzi, Prof. Nur Ikhwan, hingga Aun Falestien Faletehan dari UIN Sunan Ampel Srabaya. Pada abad ke-16, fokus kajian Islam di Belanda lebih menekankan pada bahasa. Dua tokoh besar saat itu, Franciscus Raphelengius dan Josephus Scaliger, sibuk menerjemahkan alfabet dan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Diskursus teologis belum hadir, masih sebatas “belajar mengenal.” Karya Raphelengius berjudul The Specimen Characterum Arabicorum dan karya Scaliger The Store House of the Arabic Language menjadi contoh perhatian pada aspek linguistik.

Pusat kegiatan kala itu adalah Universitas Leiden, yang kelak berkembang menjadi salah satu pusat studi Islam terbesar di dunia. Awalnya bidang ini dikenal sebagai Arabic Studies dalam rumpun Oriental Studies, sebelum kemudian bergeser menjadi Islamic Studies atau Middle Eastern Studies setelah munculnya kritik Edward Said terhadap orientalisme. Pada abad ke-17, muncul generasi baru yang disebut sebagai para pendiri. Thomas Erpenius, profesor Arab pertama di Leiden, mengajarkan bahasa Arab untuk kepentingan dakwah para misionaris. Namun muridnya, Jacobus Golius, mulai menekankan aspek ilmiah murni dan memisahkan kajian Arab dari misi agama. Nama Levinus Warner juga menonjol, bukan karena teori, melainkan karena koleksi manuskrip Islam yang berhasil ia kumpulkan dari Istanbul. Berkat hobinya membeli naskah, Leiden kini memiliki ribuan manuskrip Islam berharga.

Memasuki abad ke-18, nuansa pencerahan dan romantisisme mulai tampak. Adrian Reland menolak pandangan bahwa Islam hanyalah Kristen yang menyimpang. Ia memandang Muslim sebagai sesama manusia dengan tradisi agama yang patut dihormati. Sementara itu, keluarga Schultens mengembangkan studi bahasa Arab secara komparatif dengan Ibrani dan Aram, meskipun sebagian dari mereka masih berusaha mempertahankan otoritas Bible dari kritik akademik. Abad ke-19 menjadi periode penuh polemik. Reinhart Peter Dozy dikenal sangat keras menyerang Islam, bahkan menyebut wahyu yang diterima Nabi Muhammad tidak lebih dari gejala epilepsi. Sebaliknya, M.J. de Goeje hadir dengan sikap lebih ramah, menempatkan Islam sejajar dengan Yahudi dan Kristen sebagai “tiga agama mulia.” Pada masa inilah nama Snouck Hurgronje mencuat, terutama di Indonesia.

Snouck pernah masuk Mekkah dengan nama samaran Abdul Ghaffar, lalu kembali menjadi penasihat kolonial Belanda dalam menghadapi perlawanan Aceh. Sosoknya brilian dan berpengaruh besar, namun sekaligus menyisakan kontroversi karena kedekatannya dengan kepentingan kolonial. Abad ke-20 semakin mengokohkan Leiden melalui proyek besar seperti Encyclopaedia of Islam. Tokoh-tokoh seperti Arent Jan Wensinck dan J.H. Kramers melahirkan karya monumental, termasuk terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda. Salah satu karya Wensinck yang penting adalah Mohammed en de Joden te Medina (Muhammad and the Jews in Medina). Era ini juga menghadirkan nama-nama besar seperti Joseph Schacht, ahli hukum Islam yang berpengaruh, serta G.H.A. Juynboll dengan teori common link hadisnya. Hingga kini, studi Islam di Belanda terus berkembang dengan pendekatan modern, mulai dari digital humanities, antropologi, hingga studi lingkungan.

Dari perjalanan panjang ini, terlihat bagaimana studi Islam di Belanda bergerak dari misi misionaris dan kepentingan kolonial, hingga menjadi kajian akademik yang lebih objektif. Universitas Leiden menjadi saksi bahwa Barat juga memberi kontribusi besar dalam memahami Islam, meski perjalanannya dipenuhi tarik ulur kepentingan. Literasi keislaman di Belanda bukanlah kisah masa lalu yang selesai, melainkan tradisi yang masih hidup, berkembang, dan tetap terhubung erat dengan dunia Islam, termasuk Indonesia.

 




Previous Post Next Post

Contact Form