Oleh: Naufal Robbiqis Dwi Asta
Agama
merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. Tidak dapat
dipungkiri agama sangat berperan dalam mengonstruksi kehidupan manusia, baik
dari individu bahkan skala lebih besar dengan adanya peradaban. Kajian tentang
agama banyak dibicarakan bukan hanya oleh para agamawan saja, tetapi juga dari
masyarakat luas, kaum intelektual, akademisi, ilmuwan, bahkan para filsuf.
William
James selaku Bapak Pragmatisme dari Amerika memberikan beberapa pemikirannya
melalui penelitian agama. Dalam karyanya yang berjudul The Varieties of
Religious Experience, dia menjelaskan agama dari sisi psikologis
individunya. Dengan kacamata pragmatisnya dan fungsionalisnya, James berhasil
mengamati pengalaman beragama dari para pemeluknya.
William
James mendifinisikan agama sebagai segala tindakan, perasaan dan pengalaman
individu manusia, sepanjang mereka memahami bahwa diri mereka berada dalam
hubungan dengan yang Ilahi. Segala tindakan yang dilakukan manusia tidak akan
terlepas dari pengetahuan mereka tentang agama, selaku mereka sendiri sebagai
pemeluknya, dari sinilah letak hubungan antara individu dengan Tuhannya.
Agama
berdasarkan pengalaman dari individu memiliki tiga ciri yang khas, yaitu penuh
penghayatan, emosional yang kuat, dan memberi gairah atau semangat bagi para
pemeluknya. Emosional di sini tidak diartikan sebagai hal yang sensitif yang
mengandung amarah, tetapi emosional diartikan sebagai rasa, baik senang,
tenang, sedih, dan lain sebagainya tergantung bagaimana pengalaman hidup dari
individu yang beragama.
James
mengklasifikasikan individu beragama memiliki tiga karakter di antaranya adalah
mereka memiliki pilihan-pilihan hidup yang harus dipilih untuk diseriusi, apapun
yang keluar dari dalam agama tidak dipertanyakan atau diabaikan dan fokus untuk
melakukannya, dan yang terakhir bagi pemeluk agama, agama adalah sesuatu yang
penting untuk diraih. Ketiga karakter tersebut dijalankan dengan pertimbangan
pada nilai-nilai pada agama.
James
juga memberi dua paradigma dalam agama, yaitu paradigma kontrol dan paradigma
kepasrahan. Ciri utama paradigma kontrol adalah agama yang dapat dijelaskan
dengan argumentasi individu. Individu juga dapat mengetahui apa yang harus dan
tidak harus mereka lakukan. Dalam konteks ini agama dipahami secara
rasionalitas.
Jenis
kedua yaitu paradigma kepasrahan yang ciri utamanya adalah agama yang sulit
untuk dijelaskan oleh para pemeluknya. Orientasi jenis ini adalah lebih harus
‘menjadi’ seketika mengetahui tanpa adanya analisis-analisis rasional. Dalam
konteks ini, agama dipahami melalui adanya tindakan (spiritualitas).
Kedua
jenis tersebut sebenarnya bukan pembedaan dan parameter antara mana yang baik
dan buruk. James hanya menganalisis berdasarkan asumsi bahwa kecenderungan
individu beragama akan berada di salah satu jenis tersebut. Dengan kedua
kesadaran akan paradigma tersebut, seorang pemeluk agama akan lebih baik lagi
jika ia berada pada keduanya. Karena bagaimanapun sisi spiritualitas agama
tidak bertentangan dengan rasionalitas dari manusia.
William
James juga menjelaskan orientasi beragama dalam dua jenis, yang pertama adalah Healthy
Minded. Dalam klasifikasi ini, James menjelaskan ciri individu beragama
pada jenis ini di antaranya adalah menyikapi hidup sebagai rahmat/cinta, tidak
ada analisis-analisis pendalaman, tidak menekankan orientasi untuk menjauhi
dunia, bersifat optimis, gembira, terbuka (ekstrover), dan tidak kaku.
Yang
kedua terdapat istilah Sick Souls yang dilatarbelakangi pada penderitaan
individu. Penderitaan tersebut dapat berupa keraguan, merasa diri jauh dari
Tuhan, mendapat musibah, konflik batin, dan lain-lain. Ciri dari jenis ini
adalah berpikir secara pesimis, merasa tidak ada kebahagiaan di dunia ini.
Manusia dianggap sebagai yang jahat (sikap introver). Dalam jenis ini, agama
sering kali dijadikan ‘pelarian’ oleh para pemeluknya.
Kedua orientasi tersebut
adalah sejenis pandangan individu tentang bagaimana individu memahami agama
dari pengalaman-pengalaman hidup mereka. Keduanya tidak dapat disalahkan karena
pengalaman masing-masing individu pastinya berbeda dengan yang lainnya.
Dari
pandangan William James tentang agama, dapat ditarik suatu kesimpulan tentang
pentingnya penuh kesadaran dalam beragama. Manusia memang bukan hal yang
sempurna, tetapi tidak ada salahnya seseorang mengimplementasikan nilai-nilai
agama dengan sebaik mungkin. Untuk menjalankannya maka dibutuhkan diri yang
penuh dengan kesadaran.