Oleh: Nyoman Trisna Dewi
Cinta terlarang menawarkan kesenangan sementara. Seperti senja yang indahnya sekejap mata. Gelap akan segera menyapa, tak harus kecewa atau terluka. Karena kau dan aku tercipta bukan menjadi kita. Bahagiakan dia!
Hai hujan, apa
kabar? Lama sudah tak bersua, kini tiba-tiba datang menggandeng sang
halilintar. Rintik menari-nari di atas genting, tetesnya jatuh membasahi
tembok. Malam yang tadinya ceria dengan jangkrik bernyanyi riang tiba-tiba
mendadak muram. Ketika bulan tertutup awan kelabu, saat itu juga hati mendadak
rindu. Hujan enggan mereda, namun lebih sesak kau tiada. Rasa itu telah membeku
pada miliar detik berlalu.
Tuhan tolong
bangunkan aku pada luka dalam, karena seseorang menginginkanku tenggelam. Dan
semoga derasnya hujan menghanyutkan kenangan dalam angan. Sekarang aku paham,
kenapa diri berhenti percaya, karena janji yang terukir telah pecah. Dan
kembali dengan kata pasrah.
Jelajahi sebuah
bukit bernama kehidupan. Terkadang jalan naik dan turun sama lelahnya, begitu
pula ketika berenang melewati luasnya lautan asa dan luka. Sekian waktu
terbuang sia-sia dalam rentang waktu cukup lama. Seperti butir debu yang
terbang terbawa tiupan angin, melayang di udara tak tentu arah. Mendarat pada
dedaunan layu batang pepohonan. Ia tak berdaya, ketika dijilat bersih oleh
gemercik hujan.
Hujan tolong
satukan aku pada aksara yang membuatku menggila menyusun bait-bait bahagia.
Meski aku adalah rangkaian huruf yang tak bermakna yang dipijak hancur oleh
bualan semata. Lalu, kau datang menawarkan segala sesuatu, hingga aku hanyut
dalam astu. Awalnya kupikir itu sebuah candu, tapi ternyata cinta
palsu. Kau sebut cinta yang muncul dalam sebuah rasa. Kau juga berkata cinta
itu buta, cinta itu harus berkorban, cinta munafik kalau tak ada nafsu dan
blablabla…
Apa yang lebih
perih dari luka? Ketika kau datang mengucap sebuah janji dan seolah-olah kau
tak tahu apa. Dan kau datang membawa cinta tapi telah bersamanya. Hai, apa
kabar hati? Masihkah kau mampu bersabar dengan segala kepura-puraan belaka?
Sulit rasanya untuk menerima, tapi ini sudah skenario Tuhan selaku sutradara
dan aku selaku pemeran utama dalam cerita.
Tak mudah memang
memerankan ini semua. Dengarlah, kita berada pada kisah yang sama tapi aku dan
kau bukan ditakdirkan menjadi kita. Bahagiakan dia, biarkan aku yang melupa.
Maaf berjuta maaf aku lontarkan. Mungkin ini pilihan terbaik untuk masa depan.
Untuk tidak saling mengecewakan.
“Apa semesta tak
akan marah jika kita menjalin hubungan ketika kau sudah ada yang memiliki?” Ucapku
pada sekuntum mawar putih yang telah layu termakan angin berhembus pelan. “Entahlah.
Ini adalah sebuah kisah dari Tuhan tentang cinta terlarang tetapi dipertemukan
hanya sebatas ujian saja. Menjerumuskan ke sebuah tempat yang bernama surga
dunia, tapi neraka ketika di alam baka.”
Cinta terlarang
menawarkan keindahan tiada tara, tapi seperti senja yang sekejap datang namun
pergi kemudian menghadirkan kegelapan. Cinta tak selamanya indah, karena tak
selamanya harus dimiliki. Orang bijak pernah berkata, “Cinta tak harus kecewa.”
Rahasia dunia tak ada yang pernah tahu dan sulit dimengerti. Inilah jungur
hidup penuh liku.
Bisakah seekor
semut memikul beban begitu berat, demi sebutir gula? Meski bertaruh nyawa
untuk melewati sebuah lembah dalam. Bisakah seekor burung terbang ketika sayap
terluka cukup parah? Entahlah, ketika Tuhan berkendak manusia bisa apa? Akan
muncul keajaiban di luar nalar pada setiap peristiwa.
Tak perlu ada yang
disesali karena fajar akan segera datang menyapa. Seperti embun pagi indah di
tiup angin setanggi menjelma menjadi embun pelangi. Mengapa hati masih saja
memikirkan mereka yang berkata semu? Apakah sikapku telah dingin, sedingin
salju? Dan semua kisah masih tersimpan rapi pada album biru. Mengapa masih
teringat waktu yang terdahulu? Sedangkan itu telah tertiup angin berlalu.
Biarlah menjadi pelajaran baru untuk diri lebih terpacu maju.
Mungkin fajar dan
senja adalah suatu yang berlawanan tapi antara terang dan gelap menjadi simbol
pengawalan dan pengakhiran, tak bisa berbarengan. Begitu juga dengan hujan dan
kemarau, sesuatu yang berlawanan tapi bisa bersatu, hingga menghadirkan pelangi
di tengah-tengahnya. Penuh warna-warni berkilau nampak hidup tapi hanya hadir
dalam sekejap.
Lihatlah begitu
banyak tanya yang belum terjawab. Begitu juga dengan setiap jawaban yang belum
ada alasan. Kita sebagai manusia hanya sementara menginjakkan kaki di bumi pertiwi
ini. Bila telah tiba saatnya akan
kembali ke hadapan-Nya.