Perbedaan Penafsiran Mu’tazilah dan Syiah terhadap Ayat Kepemimpinan: Membacanya melalui Hermeneutika Gadamer

 


Oleh: Muhammad Muhib Maulana

Di era society 5.0, arus informasi bergerak begitu cepat dan tersebar di mana-mana. Kita pun sering memiliki pandangan yang berbeda meski menerima teks atau informasi yang sama. Sebenarnya, perbedaan cara memahami ini bukanlah hal baru. Sejak dulu, dalam sejarah intelektual manusia, satu teks yang sama bisa melahirkan banyak penafsiran.Hal yang sama juga terjadi pada Al-Qur’an. Sejak awal abad hijriah, kitab suci yang menjadi pedoman umat Islam ini telah ditafsirkan dengan beragam cara. Dua kelompok yang paling terlihat perbedaannya dalam sejarah penafsiran Islam adalah Mu’tazilah dan Syiah, yang masing-masing memiliki pendekatan khas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Ketika membahas perbedaan cara orang memahami suatu teks, pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer sangat menarik untuk dijadikan rujukan. Gadamer menjelaskan bahwa perbedaan pemahaman tidak muncul dari teks itu sendiri, tetapi dari latar belakang penafsir. Ia menyebutnya sebagai pra-pemahaman (Vorverständnis), yaitu kumpulan pengalaman, tradisi, dan keyakinan yang dibawa seseorang ketika membaca sebuah teks. Jika demikian, maka untuk menyimpulkan faktor yang menjadi perbedaan Mu’tazilah—yang dikenal aliran rasional—dan Shi’ah—yang dikenal kental dengan ideologinya—dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah dengan mengidentifikasi kacamata apa yang mereka pakai saat memasuki teks. Dengan perspektif ini kita dapat melihat bagaimana Mu’tazilah dan Shi’ah sebenarnya tumbuh dari pra-pemhaman dan horizon yang berbeda, sehingga menghasilkan interpretasi yang berbeda terhadap ayat yang sama.

Hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer

Hermeneutika yang dikembangkan oleh Gadamer berangkat dari kritik terhadap cara memahami teks yang hanya berfokus pada pencarian makna objektif. Menurutnya, pemahaman yang benar-benar netral itu mustahil, karena setiap penafsir pasti membawa latar belakang dan cara pandang sendiri. Keyakinan, pengalaman hidup, dan tradisi yang membentuk cara seseorang melihat dunia—itulah yang disebut sebagai pra-pemahaman. Bagi Gadamer, pra-pemahaman bukanlah hambatan, tetapi justru pintu masuk bagi lahirnya pemahaman baru.

Dalam proses “percakapan” antara penafsir dan teks, terjadi apa yang disebut Gadamer sebagai fusion of horizons atau peleburan cakrawala. Pada tahap ini, horizon sejarah teks bertemu dengan horizon pembacanya, sehingga melahirkan pemahaman baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh keduanya. Pemahaman muncul ketika kedua horizon tersebut saling membuka diri dan melebur menjadi perspektif baru yang lebih kaya. (Budi Harman, 2015: 180). Begitu pula ketika seseorang berusaha menafsirkan Al-Qur’an yang bersifat umum atau universal maka sangat mungkin bahwa produk tafsirnya tidak terlepas dari rangkaian sejarah ataupun keyakinan  yang dialami penafsir. Contohnya adalah kelompok Mu’tazilah dan Shi’ah yang memiliki perbedaab dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Horizon Ideologis Mu’tazilah

Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan golongan Ahl al-Adl  yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan Ahl al-Tawḥīd wa-al-ʿAdl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mu’tazilah kerap dipahami memiliki kecenderungan sikap moderat atau netral dalam menyikapi pertentangan antara ‘Alī ibn Abī Ṭālib dan para lawan politiknya, seperti Mu‘āwiyah dan ‘Āisyah. (Muhyidin, Rasionalitas Teologi Mu’tazilah, 2020). Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-Uṣūl al-Khamsah adalah al-Tawḥīd (pengesaan Tuhan), al-AdI (keadilan Tuhan), al-Wa’d wa al-Wa'id (janji dan ancaman Tuhan), al-Manzilah Bayna al Manzilatayn (posisi di antara dua posisi), dan al-Amr bi al-Ma‘ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Inilah yang menjadi lensa utama golongan ini yang berlandaskan ajaran ideloginya dalam membaca teks, terlebih lagi teks Al-Qur’an. (Abdul Hadi, 2025)

Horizon Ideologis Shi’ah

Berbeda dari golongan sebelumnya yang cenderung netral dalam menyikapi pertentangan antara ‘Alī ibn Abī Ṭālib dan para lawan politiknya, seperti Mu‘āwiyah dan ‘Āisyah. Golongan Shi’ah ini sebaliknya, mereka cenderung mendukung Ali dan merangkul kelompok kecil pendukung Ali. Benih awal Shi’ah adalah sekelompok orang yang berpendapat bahwa sepeninggal Nabi Muhammad saw,  keturunannya yang lebih pantas menjadi penerusnya.  Elemen sentral dalam doktrin teologi Shi’ah adalah konsep Imāmah. Doktrin ini awal mulanya berfokus pada legitimasi Ali dan peranannya sebagai pemimpin yang sah setelah Nabi Muhammad saw, kemudian doktrin Imāmah ini bertransformasi menjadi lebih kompleks, mengembangkan konsep ʿIṣmah (kesucian imam) yang tidak hanya melibatkan aspek eksoterik tetapi juga melibatkan aspek esoterik. (Afni Nur Sadiah, 2024)

Perbedaan Penafsiran Ayat Kepemimpinan

Yang paling mendasar dari perbedaan pemahaman adalah kacamata atau lensa yang dipakai oleh penafsir dalam membaca teks. Penulis mengambil contoh ketika salah seorang ulama dari dua kelompok besar yakni Mu’tazilah dan Shi’ah mencoba menafsirkan salah satu ayat tentang perintah untuk taat kepada Allah, Rasul dan ūlī al-amr (pemimpin). Tepatnya Surah an-Nisa (4):59:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Tokoh besar Mu’tazilah al-Zamakhsyari menafsirkan kata ūlī al-amr dalam al-Kasyaf, ia memahaminya sebagai setiap otoritas atau pemimpin yang berjalan di atas kebenaran. Artinya adalah yang mampu berhukum adil, memilih kebenaran, memerintahkan keduanya, menyeru kepada kebajikan dan menjauhi yang mungkar. Ketika pemimpin sudah memenuhi standar tersebut maka ia wajib dipatuhi dan ditaati perintahnya, akan tetapi berbanding terbalik ketika berlaku dzalim. (Zamakhsyari, al-Kashshāf: 242)

Selanjutnya dari golongan Shi’ah at-Thabathabai menafsirkan kata ūlī al-amr sangat berbanding terbalik dari kelompok sebelumnya. Ia berpendapat yang dimaksud pemimpin pada ayat tersebut adalah para imam dari keturunan Nabi Muhammad saw yang dianggap memiliki sifat maʿṣūm, wajib untuk menaati perintahnya. Hal ini sejalan dengan at-Tabarsi yang juga ulama Shi’ah. Bukan siapa yang mampu berlaku adil, bukan pula siapa yang mampu membela kebenaran, tetapi adalah keturunan Nabi yang suci. (Thabathabai, al-Mīzān Jilid 4: 397)

Pada titik inilah teori hermeneutika Gadamer dapat menjelaskan perbedaan makna yang muncul. Menurut Gadamer, pemahaman selalu terjadi melalui pertemuan antara horizon pra-pemahaman penafsir dan horizon teks. Dengan kata lain, penafsir tidak memulai dari ruang kosong; ia membawa tradisi, keyakinan, dan kerangka intelektual yang secara alami memengaruhi cara ia memasuki teks. Dalam konteks ayat ūlī al-amr, Mu‘tazilah dan Syiah membawa horizon yang sangat berbeda. Mu‘tazilah, dengan tradisi rasional-etisnya, memasuki teks dengan asumsi bahwa otoritas sah harus diukur melalui keadilan dan komitmen pada kebenaran. Karena itu, makna ūlī al-amr bagi mereka adalah siapa pun yang memenuhi standar moral tersebut. Sementara itu, Syiah memasuki teks dari horizon teologi Imāmah yang telah mapan. Pra-pemahaman ini membuat mereka memahami ūlī al-amr bukan sebagai pemimpin umum yang adil, tetapi sebagai imam-imam ma‘ṣūm dari keturunan Nabi. Dengan kerangka ini, otoritas bukan dinilai dari perilaku etis, tetapi dari legitimasi spiritual dan garis keturunan.

Dengan demikian, perbedaan tafsir lahir dari horizon tradisi yang berbeda. Ketika horizon penafsir bertemu dengan horizon teks, yang terjadi bukan sekadar “peleburan” dalam arti melahirkan makna baru, tetapi lebih tepatnya penyesuaian makna teks di dalam kerangka tradisi yang sudah dimiliki penafsir—sebagaimana dijelaskan Gadamer. Karena itu, penafsiran Mu‘tazilah dan Syiah tampak kontras, tetapi keduanya merupakan hasil yang wajar dari proses pemahaman yang dipengaruhi oleh pra-pemahaman masing-masing.

 




Previous Post Next Post

Contact Form