Oleh: Muhammad Haris Miftah Sibawayhie
Wush, angin segar datang menyeruak memasuki rongga pendidikan klasik. Namanya adalah pondok pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang mencakup berbagai macam elemen mulai dari TK, SD, MTs, dan SMA hingga jenjang Perguruan Tinggi. Responsif negara melihat hal itu sangat mengapresiasi kinerja pondok pesantren. Bidikan tepat sasaran, ketika pemerintah mulai mengarahkan moncong pendidikan di pesantren berkembang jauh bahkan melebihi lembaga di luar sana, dengan mendanai dan memfasilitasi.
Syahdan patut kita sadari metode pondok pesantren adalah metode persuasif klasik yang sangat kental dengan ajaran ajaran kitab klasik, tak ayal banyak sekali pondok pesantren yang mempertahankan kesalafannya di tengah gempuran modernisme. Lebih dari itu, pondok pesantren yang hakikatnya adalah sarana untuk mencari ilmu, di dalamnya banyak terdiri dari metode-metode pembelajaran seperti ngaji dan berkhidmah yang membuat para santri bersemangat giat dalam mencari ilmu, mereka pun berlomba-lomba mencari barakah, di mana ada yang melalui cara tholib ilm (mencari ilmu) dan mengabdi kepada para kiyai.
Namun lambat laun dengan berkembang pesatnya pesantren, muncullah undang-undang pesantren yang substansinya menjadikan pesantren sebagai sub-kultur, memiliki kekhasan yang telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dalam menjalankan fungsi pendidikan, fungsi dakwah, dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Secara historis, keberadaan pesantren menjadi sangat penting dalam upaya pembangunan masyarakat, terlebih lagi karena bersumber dari aspirasi masyarakat yang sekaligus mencerminkan kebutuhan masyarakat sesungguhnya akan jenis layanan pendidikan dan layanan umat lainnya. Jelas sekali ini baik, namun hal tersebut bisa menjadi boomerang bagi pondok pesantren. Manuskrip klasik dibungkus oleh kemodernan ini membuat pesantren kehilangan wibawanya.
Fungsi pemberdayaan masyarakat yang diawali oleh para santri, kini dirusak oleh oknum yang mengaku sebagai pemberi barakah. Sisi oknum tersebut sangatlah merusak citra pesantren apalagi berbalut kostum gus/kiyai yang sama sekali bertolak belakang dengan apa arti kekiyaian/kegusan itu.